Senin, 29 Juni 2015

Sejarah Keramik Belanda "Delft Blue"



Delft Biru adalah gerabah/ keramik yang terkenal di dunia yang telah diproduksi di kota Delft sejak abad ke-17. Antara 1600 dan 1800, gerabah ini populer di kalangan keluarga kaya yang akan memamerkan koleksi mereka Delft Biru satu sama lain. Meskipun tembikar Delftware lebih suka menyebut gerabah mereka "porselen", itu hanya versi yang lebih murah dari porselen Cina yang nyata. Delft Biru tidak dibuat dari tanah liat porselen khas, tetapi dari tanah liat yang dilapisi dengan glasir timah setelah di cat. Meskipun demikian, Delft Biru mencapai popularitas yang tak tertandingi, dan pada puncaknya, ada 33 pabrik di Delft. Dari semua pabrik ini, satu-satunya yang tersisa saat ini adalah Royal Delft.

Berbagai tren dalam gerabah dapat diamati selama berabad-abad. Pada tahun 1550, Majolica gerabah dari Spanyol dan Italia adalah tren. Banyak tembikar di Antwerp menyalin gerabah populer sampai mereka terpaksa melarikan diri dari kota dari penakluk Spanyol pada 1585. Para perajin tembikar bergabung kembali di Delft, di mana mereka berkonsentrasi pada mereproduksi tren terbaru, porselen Cina, mulai tahun 1602. Sejak saat itu, para kota Delft telah terkait erat dengan Delft Biru gerabah.

 Antara 1600 dan 1800, Delft adalah salah satu produsen gerabah paling penting di Eropa. Delft Blue gerabah sangat populer, dan dikumpulkan oleh keluarga kaya di seluruh dunia. Sayangnya, bagi banyak tembikar, Delft Blue juga pergi keluar dari tren fashion, dan satu demi satu, mereka harus menutup pintu mereka. Satu-satunya yang tetap beroperasi sejak 1653 adalah de Koninklijke Porceleyne Fles, dikenal sebagai Royal Dutch, sebuah perusahaan yang terus menghasilkan Delft Biru tembikar sesuai dengan metode tradisional. Lokasi lain di dalam dan sekitar Delft di mana pengunjung dapat melihat gerabah yang De Delftse Pauw dan di banyak toko-toko souvenir di sekitar alun-alun pasar sentral (Grote Markt) di Delft.

Kisah diambil dari http://www.holland.com/us/tourism/activities/traditional/delft-blue/history-of-delft-blue.htm dan diterjemahkan oleh Old Amsterdam Antiques 


http://www.old-amsterdam-antiques.co.id Galeri Antik Indonesia, dengan koleksi dari Eropa.


 

Senin, 15 Juni 2015



Setelah 10 tahun tinggal di Jepang, aku mulai memasuki masa jenuh, terjebak dalam rutinitas pekerjaan dan urusan rumah. Baik di kantor maupun di  rumah selalu kejar2an sama waktu, sampai akhirnya sadar kalau aku telah kehilangan "my private time". Aku mulai mencari2 jalan, enaknya ngapain ya, apa gak ada kegiatan yang BARU dan ASYIK, sekaligus menguntungkan ! Maklum yah, hidup di kota besar kan mau ga mau harus  menganut prinsip  "Time is Money" (^-^) , dan teori warisan dari Indonesia adalah harus bisa ambil " kesempatan dalam kesempitan." Lalu terbersitlah ide "AH aku pengen jualan di internet ! masak di internet belanja melulu, sekali2 coba jualan donk" pikirku. Maka aku segera cari2 info,  dan kuputuskan untuk join di site lelang terbesar di Jepang, yaitu Yahoo Auction.

Bulan Juli 2009, sebagai pemula, aku latihan dulu dengan menjual barang2 di rumah yang sudah tidak terpakai, misalnya buku2 dan CD yang tertidur di rak , mainan anak2,  barang2 elektronik (seperti video, walkman, radio, organ kecil) juga aku “buang” di internet. Sekedar info, di Jepang, buang sampah ga selamanya gratis, terutama untuk barang besar seperti furniture, barang elektronik, kita harus membayar ongkos pembuangan.  Nah kalau "dibuang di internet auction, malah dapat duit, enak kan ? (^-^) Barang2 yang aku anggap “sampah”, ternyata malah diperlukan oleh orang lain, dan “sampah” yang kupikiri nilainya NOL yen, malah bisa jadi puluhan ribu yen ! Salah satu traffic transaction auction yang ramai adalah jual-beli buku bekas.

Suatu hari aku iseng masuk ke toko buku bekas, toko tua somewhere in Tokyo. Ada rak buku yang bertuliskan @100yen.  Buku apa sih kok cepek-an harganya ? Ternyata buku2 jadul yang kondisinya lumayan bagus, bahkan ada yang masih prima kondisinya, meskipun diterbitkan 20tahun yang lalu ! Hmmm...bisa di masukin ke lelang nih ! Segera aku pilih2, tapi cuma beli 1 saja, karena masih pemula, belum berani berspekulasi macam2. Sesampai di rumah, aku langsung buka internet, cari info apakah buku itu "bernilai" atau tidak. Itu buku resep membuat roti dan kue. Ternyata penerbitnya terkenal dan sekarang statusnya langka ! Cepat2 aku foto detail2nya,dan pelajaran menulis segera dimulai. Karena pembeli gak bisa langsung melihat dan pegang barang tsb, foto dan product description harus diungkapkan secara detail dan lengkap, agar pembeli gak kecewa dan terlebih lagi supaya ga di-claim oleh mereka.

Persiapan upload foto dan merangkai kalimat ini yang memakan waktu dan tenaga.  Karena harus repot mengedit foto, dan menulis product descriptionnya dalam bahasa Jepang. Tapi kerja kerasku tidak sia2 lho. Karena buku tsb berhasil terjual di final price 3000yen ! Padahal buku resep jaman sekarang umumnya berkisar antara 1000-2000yen.   Wahhh ternyata buku jadul bisa menyaingi harga buku resep terbaru ! Sering tanpa sengaja aku masuk ke toko2 buku second hand (di Tokyo banyak sekali toko buku bekas) , juga pergi ke recylce shop, dan flea market/garage sale, yang menurut para penjual2  di auction, di tempat2 seperti itulah justru tersimpan  "harta karun".  Banyak orang awam yang tidak tau kalau barang tua, ada nilai antiknya, nilai langkanya, karena menyimpan alasan dan misteri tersendiri. Trial and Error.

Tidak selamanya jualan itu untung, kadang harga jual tidak bisa naik, dan bahkan  juga pernah rugi. Tapi semua pengalaman2 berspekulasi itu, menjadi guru terbaik, yang secara tidak langsung telah mengasah indera ke-6 ku untuk bisa nge-judge apakah barang tua/antik itu bernilai atau tidak, bisa laku dengan harga 2 kali lipat, atau malah  berlipat2. Ketika indera ke-6ku sudah mulai terlatih, aku jadi punya pengalaman dengan mesin ketik kuno. Suatu hari aku pergi recycle shop, di daerah rumahku, dan toko ini mau tutup/pindah ke kota lain, jadi barang2nya dijual murah, karena dia harus cepat2 keluar dari situ.

Nah .... aku seperti mencium bau2an harta terpendam disitu, lalu aku masuk ke toko yang pengap itu, yang rak2nya sudah agak reyot dan berdebu tak terawat (maklum pemiliknya itu kakek2). Lalu tiba2 mataku tertuju pada barang diatas rak, seperti 3 koper kecil yang berjejer, yg ternyata adalah mesin ketik merek Olivetti (made in Spain) dan merek Brother (made in Japan) dengan tombol yang bukan abjad ABC, melainkan huruf Jepang - katakana. Aku ga tau persis tentang dunia mesin ketik, tapi aku feelingku yakin... barang2 ini bisa "ditransfer" ke kolektor mesin ketik. Tapi ada risknya, apakah tombolnya semua bekerja dengan baik ? Pokoknya waktu itu pikiranku penuh dengan pertanyaan2 yang gak bisa kujawab pakai logika, terpaksa pakai feeling deh, tiba2 insting antikku "CLING" nyala deh ! BELI AJA ! Harganya 1000yen/pcs,  hmmm tidak apa deh, gak terlalu mahal, untung2an deh. Orang jualan kan memang harus berani spekulasi. Segera aku  telpon ke rumah, mengerahkan pasukan Jepang (suami dan anak2ku) untuk datang jemput aku ke toko itu, dan aku minta mereka bergotong royong menggotong 3 buah mesin ketik.  Pas  kan ! 1 orang membawa 1 mesin ketik. (bukan maksud ingin membalas dendam karena dulu Jepang menjajah Indonesia, lalu sekarang giliranku menjajah Jepang ? hihhiihi)

Sesampai dirumah, aku buka, dan coba mengetik dengan memakai semua tombolnya, ternyata No Problem at all ! Lalu segera aku siap2kan foto dan product descriptionnya yang sudah pasti mengharuskan aku surfing di internet mengenai hal2 mesin ketik.   Dan apa yang terjadi di akhir penutupan lelang ini ? Semuanya bisa terjual dengan harga 3-5 kali lipat ! Barang antik memang tak pernah pudar dimakan waktu, biar sudah umur 20-30 tahun, tetap ada peminatnya, meskipun hanya orang2 tertentu, yang adalah maniak atau kolektor.

Ternyata, yang namanya barang antik itu, tidak selamanya barang2 yang umurnya tua, dan langka. Yang umurnya muda pun, bisa jadi "barang antik" (dalam tanda petik). Contohnya ini : Suatu siang di hari libur, aku bongkar2 lemari dan menemukan 1 set permainan Dream Cast, yaitu alat mainan sebelum ada Play Station. Aku dapat hadiah seperangkat mainan ini karena ada program X dari perusahaan asuransi. Tapi karena gak hobi nge-game, jadi Dream cast ini  terbungkus rapih di dus dan meringkuk dalam pojok lemari selama 9 tahun ! Daripada mubasir, aku "buang" aja di auction dengan start price 3000yen.

Kenapa pasang harga start segitu ? karena play station yang second hand aja 5000yen, jadi mungkin barang ini lebih murah dari PS krn udah tidak popular dan tidak  diproduksi lagi.  Aku coba nyalakan tombolnya juga nyala/ tidak rusak, dan lengkap lagi dengan joy stick, webcamera, dan CD gamenya, pokoknya komplit deh. Apa yang terjadi di hari ke 3 setelah aku upload ? ? Harganya sudah naik ke angka 7000yen ! Aku sempat was-was, karena di auction juga banyak berkeliaran bidder palsu/iseng. Aku cek history transaksi mereka, hmmm not too bad,  jadi pasrah aja deh, sambil deg2an menunggu hasil akhir. 2 hari sebelum hari penutupan, harganya naik lagi menjadi 15ribu yen !  Makin penasaran aku, ini barang apa sih, aku mau buang kok harganya malah  melonjak begitu ?

Pada malam penutupannya, para bidders itu berlomba-lomba memperebutkan game set itu sampai finalnya, jatuh pada harga 22ribu yen ! (atau sekitar 2,2 juta rupiah). Gila ! ini "sampah" cap apa sih   ? dalam hatiku .... bertanya2 ??? Apa sih keistimewaan game set ini ? toh barang lama (produksi tahun 1999 spertinya) dan sudah tidak musim, karena Play Station sudah merajalela.. Karena penasaran,. Setelah aku cek di intenet, ternyata seperangkat game ini bukan game yang dijual di toko2, tapi yang diproduksi khusus untuk suatu perusahaan asuransi dalam rangka men-support salah satu program mereka. Jadi barang ini berlabel "Not for Sale".

Alasan ini yang menyebabkan kelangkaannya, dan jadi barang incaran para maniak game. oh ... maniak2 yang antik  !  You've brought me luckiness ha ha ha !  Arigatou gozaimasu yah ! Mata yoroshiku neee... Mungkin ceritaku berburu barang antik ini, kok malah jadi  cerita yang antik ya ? Karena faktanya, aku bukan seorang kolektor barang apapun ! Ada keasyikan tersendiri membeli barang "dadakan" dan melihat ke"fleksibelan" harga jual yang bikin jantung deg-deg-an. Ada kepuasan tersendiri,jika aku bisa "membawa barang" kepada orang yang memang membutuhkan.

Suatu barang akan mempunyai "nilai", jika ia berada di tempat yang tepat, di tangan orang yang tepat ! Sayang kan kalau mesin ketik kuno yang kondisinya bagus, tapi ditaruh di atas rak tua yang kotor, ..... antik kan ? .....eh salah, aneh kan ?  ^-^ Dalam 3 tahun ini, aku sudah melakukan 800 transaksi, yang kira2 25%  adalah transaksi barang antik dan "barang antik".  Dan aku akan terus menjalani hobi ini sebagai refreshing ditengah kesibukan aktivitas sehari2. Siapa yang menyangka kalau di sudut2 kota metropolitan seperti Tokyo ini, tersimpan "barang2 antik" yang sedang menunggu untuk diantar ke tempat yang tepat.  Ayo siapa mau ikut aku berburu barang antik ? ^-^

Kisah terinspirasi oleh Belda Shi, seorang blogger Kompasiana
http://www.kompasiana.com/belda/berburu-barang-antik-di-jepang_55175d8ea333117707b65c40

Reposting By Old Amsterdam Antiques


Edited by Old Amsterdam Antiques

Selasa, 09 Juni 2015

Dalam perkembangan pasar seni rupa ada fakta bahwa harga karya seniman kontemporer muda hampir selalu di bawah harga seorang seniman tua (Old Master). Tapi pada boom seni kontemporer 2008 harga karya seniman muda kontemporer kita seperti Masriadi, Putu Sutawijaya dan kelompok Jendela berada di atas karya Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan dan kawankawan.

Pada kasus ini harga para seniman Old Master terkoreksi atau sempat turun bahkan anjlok karena para seniman muda baru bermunculan dengan ide dan konsep yang baru. Tema sosial, budaya dan politik yang sebelumnya tabu untuk dimunculkan, pada saat itu dipresentasikan dengan menarik dan mendapatkan perhatian dari para kolektor, di samping adanya intervensi dari para spekulator yang marak menjadikan seni rupa sebagai instrumen investasi. Namun hal ini pun tidak bertahan lama.
Sesuai prediksi, pasar menggelembung dan kembali perhatian kolektor tertuju pada karya para Old Master bahkan sampai sekarang. Baru-baru ini Sotheby’s berhasil melelang karya S.Sudjojono berjudul Pasukan yang Dipimpin Pangeran Diponegoro seharga HK$ 58,36 juta atau setara dengan US$7,5 juta. Harga ini adalah rekor dunia untuk harga tertinggi bagi Sudjojono dan seniman dari Asia Tenggara.

Yang menarik adalah teori yang diajukan oleh David W. Galenson, seorang pencinta seni juga profesor ekonomi dari Universitas Chicago. Galenson mengemukakan temuan menarik yang relevan dengan perkembangan kreatif para seniman atau perupa yaitu hubungan umur dan produktivitas. Seorang seniman akan menghasilkan karya terbaiknya antara masa awal dan masa akhir karier nya.
Misalnya, karya awal seniman kontemporer Indonesia di balai lelang internasional dan lokal, misalnya Agus Suwage dan anggota kelompok Jendela, pada awal boom seni rupa lebih tinggi daripada yang ada sekarang. Dan seniman Old Master seperti Sudjojono dan kawan-kawan menunjukkan kenaikan yang tajam. Hal ini juga terjadi di luar negeri.

Sebagaimana Pablo Picasso, seniman- seniman Indonesia juga berkarya “mendobrak” pakem-pakem atau gaya yang sudah ada (lukisan dekoratif, abstrak, manis) lewat karya-karya yang lebih mementingkan kritik soial dan politik. Pada mulanya, lukisan dengan tema inilah yang memberi nilai jual tinggi.

Dalam perjalanan terjadi seleksi alam, hanya karya terbaik mendapatkan harga yang baik. Bahkan, beberapa seniman Indonesia terbawa arus keuntungan finansial dan mempengaruhi proses kreatif mereka menjadi lebih produktif tanpa memerhatikan kualitas. Bandingkan dengan para seniman Old Master kita atau mancanegara.

Mereka telah melalui proses yang lebih panjang dengan eksperimen yang tak kenal lelah dan pada waktu yang sama mengalami kondisi sosial yang berbeda yang akhirnya berkontribusi besar pada masa akhir kehidupan mereka. Kesimpulannya, para kolektor kuantitatif pun merasa aman untuk berinvestasi pada karya seniman Old Master yang harganya cenderung di atas harga karya seniman kontemporer. Boom seni rupa memberi “kesempatan yang menguntungkan” bagi para pelaku pemalsuan lukisan.

Baru-baru ini marak pemalsuan lukisan karya para seniman Old Master kita. Namun sangat disayangkan kasus pemalsuan lukisan belum dapat dihentikan (termasuk secara hukum) di Indonesia dengan alasan belum adanya undang-undang dan lembaga hukum yang melindungi hak cipta karya seni rupa; tidak adanya badan atau lembaga yang dapat memberikan otentisitas atau investigasi secara forensik; minimnya sejarawan seni karena tidak adanya jurusan sejarah seni rupa di universitas di Indonesia; kurangnya pendataan karya seni rupa yang dapat memudahkan penelusuran atau sejarah karya tersebut termasuk sumbernya dan lain-lain.

Di Indonesia para pemalsu lukisan hidup bagaikan di surga. Pemalsuan lukisan telah mempunyai sistem tersendiri. Mereka akan “diburu” oleh para pedagang yang akan menyalurkan lukisan palsu kepada pengguna terakhir, kolektor atau balai lelang, tanpa harus merasa takut dijerat hukum.
Kalaupun terjadi kasus dan si pembeli keberatan terhadap karya palsu itu, dapat diselesaikan dengan kebijakan uang kembali (money return policy) dan kasus ditutup tanpa harus melalui proses hukum dan si pemalsu pun tetap melakukan pekerjaannya. Minimnya para akademisi yang ahli dalam bidang sejarah seni rupa Indonesia juga “melancarkan” pemalsuan karya seni rupa.

Bahkan kurator masa kini yang biasanya berlatar belakang sejarah seni rupa jarang yang melakukan riset mendalam tentang seniman yang termasuk ke dalam peta sejarah seni rupa. Mereka lebih memilih terlibat dengan analisis dan kuratorial seniman kontemporer atau pameran yang diselenggarakan.

Sayangnya perkembangan solusi pemalsuan lukisan di Indonesia tidak sejalan dengan maraknya permintaan lukisan itu sendiri. Jika tetap dibiarkan dan tidak segera dicari jalan keluarnya, akan dapat menjadi informasi yang menyesatkan, selain pembohongan publik. Para pemalsu lukisan dengan leluasa hidup makmur, para kolektor karya palsu merasa benar karena tidak melanggar hukum, bahkan seolah-olah memperbolehkan istilah “seni di dalam seni”, yaitu pemalsuan adalah juga seni tersendiri.

Reposted by Old Amsterdam Antiques

- See more at: http://www.indopos.co.id/2014/04/old-master-dan-young-genius-di-pasar-seni-lukis-indonesia.html#sthash.voMFmvMt.dpuf

http://www.old-amsterdam-antiques.co.id/lamps-en.html



Dalam perkembangan pasar seni rupa ada fakta bahwa harga karya seniman kontemporer muda hampir selalu di bawah harga seorang seniman tua (Old Master). Tapi pada boom seni kontemporer 2008 harga karya seniman muda kontemporer kita seperti Masriadi, Putu Sutawijaya dan kelompok Jendela berada di atas karya Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan dan kawankawan.

Pada kasus ini harga para seniman Old Master terkoreksi atau sempat turun bahkan anjlok karena para seniman muda baru bermunculan dengan ide dan konsep yang baru. Tema sosial, budaya dan politik yang sebelumnya tabu untuk dimunculkan, pada saat itu dipresentasikan dengan menarik dan mendapatkan perhatian dari para kolektor, di samping adanya intervensi dari para spekulator yang marak menjadikan seni rupa sebagai instrumen investasi. Namun hal ini pun tidak bertahan lama.
Sesuai prediksi, pasar menggelembung dan kembali perhatian kolektor tertuju pada karya para Old Master bahkan sampai sekarang. Baru-baru ini Sotheby’s berhasil melelang karya S.Sudjojono berjudul Pasukan yang Dipimpin Pangeran Diponegoro seharga HK$ 58,36 juta atau setara dengan US$7,5 juta. Harga ini adalah rekor dunia untuk harga tertinggi bagi Sudjojono dan seniman dari Asia Tenggara.

Yang menarik adalah teori yang diajukan oleh David W. Galenson, seorang pencinta seni juga profesor ekonomi dari Universitas Chicago. Galenson mengemukakan temuan menarik yang relevan dengan perkembangan kreatif para seniman atau perupa yaitu hubungan umur dan produktivitas. Seorang seniman akan menghasilkan karya terbaiknya antara masa awal dan masa akhir karier nya.
Misalnya, karya awal seniman kontemporer Indonesia di balai lelang internasional dan lokal, misalnya Agus Suwage dan anggota kelompok Jendela, pada awal boom seni rupa lebih tinggi daripada yang ada sekarang. Dan seniman Old Master seperti Sudjojono dan kawan-kawan menunjukkan kenaikan yang tajam. Hal ini juga terjadi di luar negeri.

Sebagaimana Pablo Picasso, seniman- seniman Indonesia juga berkarya “mendobrak” pakem-pakem atau gaya yang sudah ada (lukisan dekoratif, abstrak, manis) lewat karya-karya yang lebih mementingkan kritik soial dan politik. Pada mulanya, lukisan dengan tema inilah yang memberi nilai jual tinggi.

Dalam perjalanan terjadi seleksi alam, hanya karya terbaik mendapatkan harga yang baik. Bahkan, beberapa seniman Indonesia terbawa arus keuntungan finansial dan mempengaruhi proses kreatif mereka menjadi lebih produktif tanpa memerhatikan kualitas. Bandingkan dengan para seniman Old Master kita atau mancanegara.

Mereka telah melalui proses yang lebih panjang dengan eksperimen yang tak kenal lelah dan pada waktu yang sama mengalami kondisi sosial yang berbeda yang akhirnya berkontribusi besar pada masa akhir kehidupan mereka. Kesimpulannya, para kolektor kuantitatif pun merasa aman untuk berinvestasi pada karya seniman Old Master yang harganya cenderung di atas harga karya seniman kontemporer. Boom seni rupa memberi “kesempatan yang menguntungkan” bagi para pelaku pemalsuan lukisan.

Baru-baru ini marak pemalsuan lukisan karya para seniman Old Master kita. Namun sangat disayangkan kasus pemalsuan lukisan belum dapat dihentikan (termasuk secara hukum) di Indonesia dengan alasan belum adanya undang-undang dan lembaga hukum yang melindungi hak cipta karya seni rupa; tidak adanya badan atau lembaga yang dapat memberikan otentisitas atau investigasi secara forensik; minimnya sejarawan seni karena tidak adanya jurusan sejarah seni rupa di universitas di Indonesia; kurangnya pendataan karya seni rupa yang dapat memudahkan penelusuran atau sejarah karya tersebut termasuk sumbernya dan lain-lain.

Di Indonesia para pemalsu lukisan hidup bagaikan di surga. Pemalsuan lukisan telah mempunyai sistem tersendiri. Mereka akan “diburu” oleh para pedagang yang akan menyalurkan lukisan palsu kepada pengguna terakhir, kolektor atau balai lelang, tanpa harus merasa takut dijerat hukum.
Kalaupun terjadi kasus dan si pembeli keberatan terhadap karya palsu itu, dapat diselesaikan dengan kebijakan uang kembali (money return policy) dan kasus ditutup tanpa harus melalui proses hukum dan si pemalsu pun tetap melakukan pekerjaannya. Minimnya para akademisi yang ahli dalam bidang sejarah seni rupa Indonesia juga “melancarkan” pemalsuan karya seni rupa.

Bahkan kurator masa kini yang biasanya berlatar belakang sejarah seni rupa jarang yang melakukan riset mendalam tentang seniman yang termasuk ke dalam peta sejarah seni rupa. Mereka lebih memilih terlibat dengan analisis dan kuratorial seniman kontemporer atau pameran yang diselenggarakan.

Sayangnya perkembangan solusi pemalsuan lukisan di Indonesia tidak sejalan dengan maraknya permintaan lukisan itu sendiri. Jika tetap dibiarkan dan tidak segera dicari jalan keluarnya, akan dapat menjadi informasi yang menyesatkan, selain pembohongan publik. Para pemalsu lukisan dengan leluasa hidup makmur, para kolektor karya palsu merasa benar karena tidak melanggar hukum, bahkan seolah-olah memperbolehkan istilah “seni di dalam seni”, yaitu pemalsuan adalah juga seni tersendiri.

Reposted by Old Amsterdam Antiques

- See more at: http://www.indopos.co.id/2014/04/old-master-dan-young-genius-di-pasar-seni-lukis-indonesia.html#sthash.voMFmvMt.dpuf

http://www.old-amsterdam-antiques.co.id/clocks-en.html