Selasa, 09 Juni 2015

Dalam perkembangan pasar seni rupa ada fakta bahwa harga karya seniman kontemporer muda hampir selalu di bawah harga seorang seniman tua (Old Master). Tapi pada boom seni kontemporer 2008 harga karya seniman muda kontemporer kita seperti Masriadi, Putu Sutawijaya dan kelompok Jendela berada di atas karya Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan dan kawankawan.

Pada kasus ini harga para seniman Old Master terkoreksi atau sempat turun bahkan anjlok karena para seniman muda baru bermunculan dengan ide dan konsep yang baru. Tema sosial, budaya dan politik yang sebelumnya tabu untuk dimunculkan, pada saat itu dipresentasikan dengan menarik dan mendapatkan perhatian dari para kolektor, di samping adanya intervensi dari para spekulator yang marak menjadikan seni rupa sebagai instrumen investasi. Namun hal ini pun tidak bertahan lama.
Sesuai prediksi, pasar menggelembung dan kembali perhatian kolektor tertuju pada karya para Old Master bahkan sampai sekarang. Baru-baru ini Sotheby’s berhasil melelang karya S.Sudjojono berjudul Pasukan yang Dipimpin Pangeran Diponegoro seharga HK$ 58,36 juta atau setara dengan US$7,5 juta. Harga ini adalah rekor dunia untuk harga tertinggi bagi Sudjojono dan seniman dari Asia Tenggara.

Yang menarik adalah teori yang diajukan oleh David W. Galenson, seorang pencinta seni juga profesor ekonomi dari Universitas Chicago. Galenson mengemukakan temuan menarik yang relevan dengan perkembangan kreatif para seniman atau perupa yaitu hubungan umur dan produktivitas. Seorang seniman akan menghasilkan karya terbaiknya antara masa awal dan masa akhir karier nya.
Misalnya, karya awal seniman kontemporer Indonesia di balai lelang internasional dan lokal, misalnya Agus Suwage dan anggota kelompok Jendela, pada awal boom seni rupa lebih tinggi daripada yang ada sekarang. Dan seniman Old Master seperti Sudjojono dan kawan-kawan menunjukkan kenaikan yang tajam. Hal ini juga terjadi di luar negeri.

Sebagaimana Pablo Picasso, seniman- seniman Indonesia juga berkarya “mendobrak” pakem-pakem atau gaya yang sudah ada (lukisan dekoratif, abstrak, manis) lewat karya-karya yang lebih mementingkan kritik soial dan politik. Pada mulanya, lukisan dengan tema inilah yang memberi nilai jual tinggi.

Dalam perjalanan terjadi seleksi alam, hanya karya terbaik mendapatkan harga yang baik. Bahkan, beberapa seniman Indonesia terbawa arus keuntungan finansial dan mempengaruhi proses kreatif mereka menjadi lebih produktif tanpa memerhatikan kualitas. Bandingkan dengan para seniman Old Master kita atau mancanegara.

Mereka telah melalui proses yang lebih panjang dengan eksperimen yang tak kenal lelah dan pada waktu yang sama mengalami kondisi sosial yang berbeda yang akhirnya berkontribusi besar pada masa akhir kehidupan mereka. Kesimpulannya, para kolektor kuantitatif pun merasa aman untuk berinvestasi pada karya seniman Old Master yang harganya cenderung di atas harga karya seniman kontemporer. Boom seni rupa memberi “kesempatan yang menguntungkan” bagi para pelaku pemalsuan lukisan.

Baru-baru ini marak pemalsuan lukisan karya para seniman Old Master kita. Namun sangat disayangkan kasus pemalsuan lukisan belum dapat dihentikan (termasuk secara hukum) di Indonesia dengan alasan belum adanya undang-undang dan lembaga hukum yang melindungi hak cipta karya seni rupa; tidak adanya badan atau lembaga yang dapat memberikan otentisitas atau investigasi secara forensik; minimnya sejarawan seni karena tidak adanya jurusan sejarah seni rupa di universitas di Indonesia; kurangnya pendataan karya seni rupa yang dapat memudahkan penelusuran atau sejarah karya tersebut termasuk sumbernya dan lain-lain.

Di Indonesia para pemalsu lukisan hidup bagaikan di surga. Pemalsuan lukisan telah mempunyai sistem tersendiri. Mereka akan “diburu” oleh para pedagang yang akan menyalurkan lukisan palsu kepada pengguna terakhir, kolektor atau balai lelang, tanpa harus merasa takut dijerat hukum.
Kalaupun terjadi kasus dan si pembeli keberatan terhadap karya palsu itu, dapat diselesaikan dengan kebijakan uang kembali (money return policy) dan kasus ditutup tanpa harus melalui proses hukum dan si pemalsu pun tetap melakukan pekerjaannya. Minimnya para akademisi yang ahli dalam bidang sejarah seni rupa Indonesia juga “melancarkan” pemalsuan karya seni rupa.

Bahkan kurator masa kini yang biasanya berlatar belakang sejarah seni rupa jarang yang melakukan riset mendalam tentang seniman yang termasuk ke dalam peta sejarah seni rupa. Mereka lebih memilih terlibat dengan analisis dan kuratorial seniman kontemporer atau pameran yang diselenggarakan.

Sayangnya perkembangan solusi pemalsuan lukisan di Indonesia tidak sejalan dengan maraknya permintaan lukisan itu sendiri. Jika tetap dibiarkan dan tidak segera dicari jalan keluarnya, akan dapat menjadi informasi yang menyesatkan, selain pembohongan publik. Para pemalsu lukisan dengan leluasa hidup makmur, para kolektor karya palsu merasa benar karena tidak melanggar hukum, bahkan seolah-olah memperbolehkan istilah “seni di dalam seni”, yaitu pemalsuan adalah juga seni tersendiri.

Reposted by Old Amsterdam Antiques

- See more at: http://www.indopos.co.id/2014/04/old-master-dan-young-genius-di-pasar-seni-lukis-indonesia.html#sthash.voMFmvMt.dpuf

http://www.old-amsterdam-antiques.co.id/lamps-en.html



Tidak ada komentar: