Dalam perkembangan pasar seni rupa ada fakta bahwa harga karya seniman
kontemporer muda hampir selalu di bawah harga seorang seniman tua (Old
Master). Tapi pada boom seni kontemporer 2008 harga karya seniman muda
kontemporer kita seperti Masriadi, Putu Sutawijaya dan kelompok Jendela
berada di atas karya Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan dan
kawankawan.
Pada kasus ini harga para seniman Old Master terkoreksi atau sempat
turun bahkan anjlok karena para seniman muda baru bermunculan dengan ide
dan konsep yang baru. Tema sosial, budaya dan politik yang sebelumnya
tabu untuk dimunculkan, pada saat itu dipresentasikan dengan menarik
dan mendapatkan perhatian dari para kolektor, di samping adanya
intervensi dari para spekulator yang marak menjadikan seni rupa sebagai
instrumen investasi. Namun hal ini pun tidak bertahan lama.
Sesuai prediksi, pasar menggelembung dan kembali perhatian kolektor
tertuju pada karya para Old Master bahkan sampai sekarang. Baru-baru ini
Sotheby’s berhasil melelang karya S.Sudjojono berjudul Pasukan yang
Dipimpin Pangeran Diponegoro seharga HK$ 58,36 juta atau setara dengan
US$7,5 juta. Harga ini adalah rekor dunia untuk harga tertinggi bagi
Sudjojono dan seniman dari Asia Tenggara.
Yang menarik adalah teori yang diajukan oleh David W. Galenson, seorang
pencinta seni juga profesor ekonomi dari Universitas Chicago. Galenson
mengemukakan temuan menarik yang relevan dengan perkembangan kreatif
para seniman atau perupa yaitu hubungan umur dan produktivitas. Seorang
seniman akan menghasilkan karya terbaiknya antara masa awal dan masa
akhir karier nya.
Misalnya, karya awal seniman kontemporer Indonesia di balai lelang
internasional dan lokal, misalnya Agus Suwage dan anggota kelompok
Jendela, pada awal boom seni rupa lebih tinggi daripada yang ada
sekarang. Dan seniman Old Master seperti Sudjojono dan kawan-kawan
menunjukkan kenaikan yang tajam. Hal ini juga terjadi di luar negeri.
Sebagaimana Pablo Picasso, seniman- seniman Indonesia juga berkarya
“mendobrak” pakem-pakem atau gaya yang sudah ada (lukisan dekoratif,
abstrak, manis) lewat karya-karya yang lebih mementingkan kritik soial
dan politik. Pada mulanya, lukisan dengan tema inilah yang memberi nilai
jual tinggi.
Dalam perjalanan terjadi seleksi alam, hanya karya terbaik mendapatkan
harga yang baik. Bahkan, beberapa seniman Indonesia terbawa arus
keuntungan finansial dan mempengaruhi proses kreatif mereka menjadi
lebih produktif tanpa memerhatikan kualitas. Bandingkan dengan para
seniman Old Master kita atau mancanegara.
Mereka telah melalui proses yang lebih panjang dengan eksperimen yang
tak kenal lelah dan pada waktu yang sama mengalami kondisi sosial yang
berbeda yang akhirnya berkontribusi besar pada masa akhir kehidupan
mereka. Kesimpulannya, para kolektor kuantitatif pun merasa aman untuk
berinvestasi pada karya seniman Old Master yang harganya cenderung di
atas harga karya seniman kontemporer. Boom seni rupa memberi “kesempatan
yang menguntungkan” bagi para pelaku pemalsuan lukisan.
Baru-baru ini marak pemalsuan lukisan karya para seniman Old Master
kita. Namun sangat disayangkan kasus pemalsuan lukisan belum dapat
dihentikan (termasuk secara hukum) di Indonesia dengan alasan belum
adanya undang-undang dan lembaga hukum yang melindungi hak cipta karya
seni rupa; tidak adanya badan atau lembaga yang dapat memberikan
otentisitas atau investigasi secara forensik; minimnya sejarawan seni
karena tidak adanya jurusan sejarah seni rupa di universitas di
Indonesia; kurangnya pendataan karya seni rupa yang dapat memudahkan
penelusuran atau sejarah karya tersebut termasuk sumbernya dan
lain-lain.
Di Indonesia para pemalsu lukisan hidup bagaikan di surga. Pemalsuan
lukisan telah mempunyai sistem tersendiri. Mereka akan “diburu” oleh
para pedagang yang akan menyalurkan lukisan palsu kepada pengguna
terakhir, kolektor atau balai lelang, tanpa harus merasa takut dijerat
hukum.
Kalaupun terjadi kasus dan si pembeli keberatan terhadap karya palsu
itu, dapat diselesaikan dengan kebijakan uang kembali (money return
policy) dan kasus ditutup tanpa harus melalui proses hukum dan si
pemalsu pun tetap melakukan pekerjaannya. Minimnya para akademisi yang
ahli dalam bidang sejarah seni rupa Indonesia juga “melancarkan”
pemalsuan karya seni rupa.
Bahkan kurator masa kini yang biasanya berlatar belakang sejarah seni
rupa jarang yang melakukan riset mendalam tentang seniman yang termasuk
ke dalam peta sejarah seni rupa. Mereka lebih memilih terlibat dengan
analisis dan kuratorial seniman kontemporer atau pameran yang
diselenggarakan.
Sayangnya perkembangan solusi pemalsuan lukisan di Indonesia tidak
sejalan dengan maraknya permintaan lukisan itu sendiri. Jika tetap
dibiarkan dan tidak segera dicari jalan keluarnya, akan dapat menjadi
informasi yang menyesatkan, selain pembohongan publik. Para pemalsu
lukisan dengan leluasa hidup makmur, para kolektor karya palsu merasa
benar karena tidak melanggar hukum, bahkan seolah-olah memperbolehkan
istilah “seni di dalam seni”, yaitu pemalsuan adalah juga seni
tersendiri.
Reposted by Old Amsterdam Antiques
- See more at:
http://www.indopos.co.id/2014/04/old-master-dan-young-genius-di-pasar-seni-lukis-indonesia.html#sthash.voMFmvMt.dpuf
http://www.old-amsterdam-antiques.co.id/lamps-en.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar